Subscribe:

Rabu, 18 Mei 2011

ekonomi politik

Ekonomi Politik
Oleh : Riza Abiwinata


Apakah pasar dapat mengatur dirinya sendiri ? kapan Negara harus mengintervensi pasar (Keynes) ?

Pasar bertindak independen, dapat mengatur dirinya dan menentukan kinerjanya sendiri. Dalam teori klasik pasar harus berdiri sendiri tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations mengatakkan bahwa pasar digerakkan oleh tangan gaib invisible hand, misalnya tentang modal, tanah dan pekerja .
Pasar menyesuaikan diri dan berkembang karena adanya permintaan dan penawaran dari konsumen terhadap komoditi pasar. Dalam teori klasik kepemilikan berada di tangan perorangan, bukan oleh pemerintah. pemerintah atau negara hanya bertindak sebagai “anjing penjaga malam” atau pengontrol kegiatan pasar agar tidak terjadi kegagalan pasar seperti; Monopoli, Public Good, dan Externality. Monopoli adalah adanya pemusatan kekuasan yang dilakukan individu untuk mempengaruhi seluruh kegiatan pasar. Kemudian Public Good adalah bentuk kegagalan pasar berupa pemanfaatan wilayah public untuk dijadikan sebagai komoditi pasar. Dan yang terakhir adalah externality, dampak external dari sebuah perusahaan terhadap masyarakat sekitar berupa limbah dan polusi, baik polusi udara, air, suara dan lainnya. Para pemikir klasik maupun neoklasik sangat anti pemerintahan dan menerapkan regulasi ekonomi mandiri.
Menurut John Meynard Keynes apabila pasar selalu menerapkan regulasi mandiri tanpa ada campur tangan pemerintah, maka akan mengakibatkan eksploitasi sumber daya produktif pada masyarakat tertentu . Negara boleh, bahkan harus mengintervensi pasar apabila pasar mengalami kegagalan seperti disebut di atas. Namun apabila pasar berjalan sesuai dengan regulasinya tanpa ada kegagalan, maka Negara tidak diperbolehkan mencampuri segala urusan pasar.
Dalam Negara berkembang, terutama pada Negara yang menganut sistem liberal. Pasar sebagian besar harus memiliki kemampuan untuk mengatur kegiatan ekonomi. Mereduksi sebanyak banyaknya intervensi Negara. Bukan berarti anti Negara namun tetap menjadikan Negara sebagai pengontrol kegiatan pasar yang juga dapat bertindak apabila terjadi kegagalan pasar.
Contoh kasus dari ekonomi politik adalah kemacetan lalu lintas di kota besar seperti Jakarta. Produksi kendaraan dari berbagai perusahaan besar terus berkembang sesuai permintaan masyarakat sebagai kebutuhan individu. Ini adalah kegiatan pasar yang dilakukan sebagai independensi dari pasar produksi. Kemacetan lalu lintas semakin meluas karena Public Good seperti jalan rasa tidak ikut meluas seperti meluasnya tingkat produksi kendaraan oleh perusahaan tersebut. Jalan Raya yang seharusnya menjadi barang public bergeser menjadi komoditi pasar. Pembangunan jalan tol dilakukan oleh swasta dengan kerjasama pemerintah dilakukan untuk menghindari kemacetan dan dapat meningkatkan jumlah produksi kendaraan baru milik pasar. Sedangkan masyarakat yang memiliki hak atas Public Good itu sendiri harus membayar biaya masuk jalan tol (Toll Fee). Secara tidak langsung masyarakat yang berhak tersebut harus membayar pajak untuk menghidupi kelas tidak produktif pemerintahan.





Referensi :
Rahbini Didik J, 2002 “Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Publik” Bogor: Ghalia Indonesia.
Blog Aswad Butur : teori ekonomi Keynes, diambil pada Senin, 9 april 2011 jam 11.25 WIB.

Senin, 02 Mei 2011

Sejarah Masuknya Islam di Indonesia

AWAL MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA

Sebagai Negara yang besar dan beragam, Indonesia dikenal sebagai Negara yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia. Islam datang sebagai agama terakhir yang masuk ke Indonesia setelah ajaran Hindu, Budha dan Kristen. Islam dating dengan damai di Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia pada masa awal masuknya Islam ke Negara ini masih menganut ajaran Hindu, Budha dan kepercayaan terhadap nenek moyang. Dari berbagai historiografi yang ada tentang sejarah masuknya islam ke Indonesia terdapat beberapa teori yang mengungkapkan bagaimana caranya islam masuk dan berkembang dengan cepat di Indonesia. Dari sumber atau fakta yang jelas dan rinci mengenai bagaimana masuknya islam ke Indonesia, akhirnya para ilmuwan sejarah mengemukakan teori yang menjadi tumpuan sejarah dan berkembangnya islam di Indonesia.

Teori-teori yang berkembang itu salah satunya adalah teori yang dipelopori oleh kalangan orientalis belanda, diantaranya yaitu Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa Masuknya islam ke Indonesia dimulai pada abad ke 13M yang diawali dengan kedatangan orang-orang yang berasal bukan dari Arab langsung melainkan dari Gujarat dengan fakta ditemukannya makam Sultan Malik As-Sholeh, seorang raja pertama dari kerajaan islam pertama di Aceh, yaitu kerajaan Samudera Pasai, dan beliau berasal dari Gujarat.

Sarjan-sarjana muslim mengungkapkan teori yang berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje sebelumya. Prof. Hamka misalnya dalam seminar yang diadakannya pada tahun 1963 yang berjudul “Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia”. Hamka dan sarjana muslim yang lain berpendapat bahwa islam masuk ke Indonesia dimulai pada abad ke 7-8M yang dibawa langsung dari Arab, dengan adanya bukti jalur pelayaran internasional yang melalui selat malaka yang menghubungkan antara Dinasty Tang di Cina, Sriwijaya dan Bani Umayyah1).
1) pendapat A.Hasymy dalam buku Prof.DR. Musyrifah Sunanto 2007 “Sejarah Peradaban Islam Indonesia” Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm. 9

Islam ada cabang dari anak benua India, namun Al-attas menyatakan “it is true that some works were written in india but their origin is Arabian and Persian;or the could even be, in a comparatively small measure, Turkish or Maghribi and what is more important, theire religious contents is middle eastern not indian”2).
Taufik Abdullah seorang sarjana kontemporer mengatakan bahwa islam memang datang pada abad ke 7M - 8M namun masih banyak para pedagang dari asia timur yang belum mengabut agama islam. Kemudian islam mulai menyebar luas pada abad ke-13 melalui kekuatan politik dengan didirikannya berbagai kerajaan yang diawali di aceh, yaitu Samudera Pasai dan berbagai kerajaan lain yang bercorak islam. Para pedagang islam datang bersama da’i-da’i dan para sufi yang mengajarkan tasawuf. Berkaitan dengan masuknya ajaran tasawuf di Indonesia yang dibawa oleh Syaikh Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin Ar-raniri dan beberapa orang sufi lainnya juga bermula dari aceh dan wilayah sumatera pada abad ke 7M yang membuktikan bahwa islam memang sudah hadir sebelum abad ke 13M.

Tersebarnya islam di Indonesia dilalui dengan cara-cara yang damai dan perlahan membawa masyarakat Indonesia kepada ajaran islam. para pedagang membawa islam berbeda dengan bangsa Portugis dan penjajah yang datang dengan penaklukan untuk menyebarkan agama. Islam dating melalui cara perdagangan dan pelayaran. Kemudian dakwah yang dilakukan oleh da’i yang dating bersama pedagang. Perkawinan antara pedagang muslim dengan anak bangsawan Indonesia yang mempercepat penyebaran islam dalam genggaman kerajaan yang keluarganya sudah masuk ke dalam agama islam. dan seluruh keturunan bangsawan atau raja adalah seorang muslim yang juga akan menjadi raja. Penyebaran agama islam dengan melewati sarana pendidikan . memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan islam setelah perekonomian yang berpusat di Gresik menjadi pusat pendidikan dan penyebaran islam.


2) Al-Attas dalam buku Azyumardi Azra, 1996, “Islam In The Indonesian World: an Account of institutional Foundation”, Bandung, Granesia hlm16

Samudera pasai sebagai pusat dakwah islam banyak didatangi pelajar-pelajar dari daerah lain untuk mempelajari islam lebih mendalam, dan mengirim para mubaligh lokal seperti Maulana Malik Ibrahim ke pulau jawa3). Gresik menjadi tempat yang banyak didirikan pusat pendidikan dan pesantren-pesantren yang menjadi tempat pendidikan politik para santri. Raden Fatah misalnya, beliau adalah Raja islam pertama kerajaan Demak.
Melalui Tasawuf dan Tarekat, seperti apa yang diterangkan pada awal makalah bahwa Aceh adalah tempat datangnya tasawuf melalui para sufi seperti Syaikh Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin Ar-raniri dan semisal wali songo di daerah jawa. Kesenian juga berpengaruh dalam penyebaran islam, kesenian islami dengan pesan pesan keagamaan dibaur didalamnya seperti apa yang dilakukan wali songo, misalnya Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang sebagai penyebaran agama islam.

Adapula beberapa faktor yang menyebabkan islam menyebar luas dan mudah diterima oleh rakyat Indonesia diantaranya adalah, pertama bahwa saudagar atau para pedagang dari memiliki hubungan baik dengan pemerintah wilayah setempat pada masa itu. Kedua, saudagar arab muslim tidak ikut campur dalam urusan politik. Ketiga, para saudagar muslim mempraktekkan ajaran islam dalam kehidupan bersosial dengan masyarakat. Keempat, tidak ada paksaan terhadap masyarakat untuk menganut agama islam. Kelima, dakwah islam dilakukan dengan cara yang baik. Dan keindahan ajaran islam dibandingkan agama Hindu dan Budha4).
Perkembangan islam di Indonesia bisa dikatakan melalui tiga periode, yaitu periode masuknya islam ke Indonesia, periode kekuasaan kolonial Belanda terhadap Indonesia, dan terjadinya liberalisasi kebijakan kolonial Belanda di Indonesia.


3) Prof.DR. Musyrifah Sunanto 2007 “Sejarah Peradaban Islam Indonesia” Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm 11
4) Prof.A Hasymy, 1993 “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia” Medan, PT. Al-Ma’rif. Hlm. 182

Periode awal ditandai dengan masuknya islam pada daerah pelabuhan saja, kemudian berlanjut ke daerah pesisir pantai dan pedesaan. Seperti yang sudah dipaparkan di atas merupakan bagian awal penyebaran agama islam. melalui perdagangan, pernikahan dengan warga sekitar, pendidikan dan lain lain. Perkembangan islam kemudian dimulai di daerah perkotaan/ tepatnya istana, para ulama dan sufi mengembangkan islam dari kalangan istana dengan latar belakang islam yang diterima masyarakat dibuat fleksibel karena latar belakang penduduk Indonesia yang dipengaruhi ajaran Hindu, Budha dan kepercayaan lokal yang dianut mereka sebelum masuknya islam.

Pada periode kedua islam menyebar ketika Belanda dengan VOC-nya menduduki Indonesia. Perjanjian Giyanti pada abad 18 menjadikan VOC sebagai penguasa politik di tanah jawa dan berhasil memecah mataram menjadi dua bagian yaitu: Surakarta dan Yogyakarta. Dengan adanya perjanjian itu pihak kerajaan jawa tidak punya kuasa terhadap VOC. VOC mencampuri urusan penyebaran agama di keraton dan para ulama Kraton terpinggirkan, sehingga berpindah ke daerah lain untuk membangun pesantren dan menyebarkan agama islam. Para ulama dan warga berjuang untuk melawan kolonial belanda seperti Syaikh Yusuf Al-Makassari5).

Periode ketiga akibat Perang Diponegoro, Perang Paderi dan Perang Aceh, pemerintah Belanda mengalami defisit keuangan dan membuat sistem tanam paksa untuk menanam tanaman yang akan di ekspor keluar negeri. Dan islam terus berusaha diredupkan oleh pihak belanda. Banyak gerakan protes yang dilancarkan untuk mengusir belanda dan kroninya, dan muncul gerakan-gerakan perubahan yang dilakukan para ulama untuk membangun pesantren, memperkuat pendidikan islam, mengirim murid-murid pesantren ke timur tengah untuk memperdalam agama islam. terus menerus hingga islam bersifat sistematik dan fleksibel yang nulai dari ajarannya ditanamkan dalam identitas nasional bangsa Indonesia.

5) Pendapat Taufik Abdullah dalam buku Prof.DR. Musyrifah Sunanto 2007 “Sejarah Peradaban Islam Indonesia” Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm 15
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA


Islam di Indonesia merupakan salah satu dari tujuh cabang peradaban islam setelah hancurnya persatuan peradaban islam di Baghdad(1258 M), ketujuh cabang itu ialah Islam Arab, Islam Persi, Islam Turki, Islam Afrika Hitam, Islam Anak Benua India, Islam Arab Melayu, dan Islam Cina6).
Ada beberapa sebab mengapa masyarakat lokal yang menganut kepercayaan pada nenek moyang mulai masuk ke dalam islam yaitu, Portabilitas (siap pakai), tidak seperti kepercayaan terhadap nenek moyang yang hanya bisa dipakai pada saat tertentu dan tempat tertentu untuk beribadah, sedangkan islam mengatakan bahwa Tuhan ada dimana-mana dan semua umatnya bebas beribadah dan mendapatkan perlindungan dimanapun ia berada. Pandangan masyarakat yang menilai bahwa islamitu identik dengan kekayaan, karena banyaknya pedagan yang kaya raya. Kemudian kejayaan militer, orang muslim dianggap tangguh dan memiliki kehebatan dalam berperang, dan keyakinan rakyat, mereka punya kekuatan adikodrati7). Memperkenalkan tulisan, agama islam mengenalkan tulisan Arab ke berbagai wilayah Indonesia. Lalu mengajarkan penghapalan. Kepandaian dalam penyenbuhan penyakit dan tentunya pengajaran tentang moral. Hingga islam menyebar ke timur Indonesia.
Dari Aceh hingga seluruh Indonesia Islam berkembang pesat, hingga saat ini islam masih mendominasi kekuatan di Indonesia, seperti apa yang dikatakan oleh Gellner(1992) “dari peradaban tulis (baca Hindu, Budha, Konfusianisme dan Islam), nampaknya hanya islam yang mampu mempertahankan preindustrialnyadalam abad ke 21 yang akan datang”8).


6) Prof.DR. Musyrifah Sunanto 2007 “Sejarah Peradaban Islam Indonesia” Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm 17
7) Prof.DR. Musyrifah Sunanto 2007 “Sejarah Peradaban Islam Indonesia” Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm 19
8) Komarudin Hidayat & Ahmad Gaus AF. 2006 ”Menjadi Indonesia”, Jakarta , Mizan. Hlm. 466

Ini dapat diwujudkan dengan dua tradisi besar yang saling melengkapi dan terus bersifat kontemporer dan fleksibel yaitu tradisi tentang pemikiran tasawuf dan syariat islam yang berisi hukum-hukum yang berpegang teguh pada aturan Al-Qur’an dan Hadits. Dan islam berdiri bukan hanya dalam urusan ibadat, namun sebagai pandangan hidup. Masyarakat Indonesia mulai krisis kebudayaan yang berbau islam pada saat ini. “aspek penyebab krisis kebudayaan islam di Indonesia adalah adanya anggapan bahwa islam sebagai ibadat- dalam pandangan sempit dan dangkal”9).
Islam menawarkan keseimbangan sebagai pegangan dan pedoman hidup, islam mencerahkan baik pedesaan maupun perkotaan dan membuka peluang besar kebaikan bersama dalam tatanan masyarakat dan Negara. Penyebaran islam di sepanjang nusantara mrngahasilkan dan memperkaya nuansa di bidang litertatur, arsitektur dan pendidikan. Dan sampai saat ini peradaban dan kebudayaan islam harus tetap tumbuh di Indonesia, mengenal betapa tidak mudahnya penyebaran agama islam dilakukan.

9) DR. Faisal Ismail, MA 1996 “Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis & Refleksi Historis“ Titian Illahi Pers, Yogyakarta. Hlm.25


DAFTAR PUSTAKA

Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007
Azra, Azyumardi , Islam In The Indonesian World: an Account of institutional
Foundation, Bandung : Granesia,, 1996
Hasymy, A “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia” Medan: PT.
Al-Ma’rif. 1993
Komarudin Hidayat & Ahmad Gaus AF. ”Menjadi Indonesia”, Jakarta: Mizan .2006
Ismail, Faisal “Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis & Refleksi Historis“
Yogyakarta: Titian Illahi Pers. 1996

Validitas

OLEH : RIZA ABIWINATA

Validitas

Validitas berasal dari kata Validity yang artinya sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Semakin tepat dan cermat sebuah instrumen atau alat mengukur sesuatu ukuran maka alat atau instrumen itu dikatakan valid. Validitas juga dapat dikatakan sebagai kecermatan pengukuran,sebuah kecermatan diukur melalui kemampuan alat ukur untuk memberi gambaran yang tepat dan gambaran yang detail sekecil-kecilnya subjek yang diukur dengan subjek lainnya. Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur mampu mengukur apa yang ingin diukur. Contohnya bila seseorang ingin mengukur berat dari sebuah kalung emas, maka alat yang paling valid digunakan adalah timbangan emas, alat penimbang berat badan memang juga adalah sebuah pengukur berat, namun tidak valid untuk menimbang berat sebuah kalung emas karena ukuran kalung yang kecil serta timbangan yang besar tidak akan mampu memberikan data yang valid mengenai berat kalung emas tersebut. Dari pernyataan ini valid bisa diartikan sebagai ketepatan dan kecermatan pengukuran.

Jenis-jenis Validitas
Menurut Anastasy dan Nunally jenis-jenis Validitas terdiri dari, Construct Validity, Content Validity, Predictive Validity, external Validity, Face Validity, menurut Syamsir Salam yang paling penting di Indonesia adalah Cross-Cultural Validity.
Validitas konstruk adalah ukur penelitian dengan menggunakan kerangka dari sebuah konsep, yaitu seorang peneliti mencari apa saja yang merupakan kerangka konsep tersebut. Ada tiga cara yang digunakan untuk membuat kerangka konsep, yang pertama yaitu mencari definisi dari konsep yang dikemukakan, yang kedua adalah apabila tidak detemukan pustaka dan literature yang mengartikan konsep tersebut, maka peneliti yang mengartikan konsep tersebut. Dan cara yang terakhir adalah menanyakan konsep tersebut pada responden.

Validitas isi atau Content validity adalah sejauh mana alat pengukur mewakili semua aspek yang dianggap sebagai kerangka konsep. Contohnya apabila seorang peneliti hendak mengukur status ekonomi sebuah keluarga dengan pengukuran berdasarkan pendapatan ayah perbulan saja maka hasil penelitian ini memiliki validitas rendah, karena bisa saja ibu memiliki penghasilan yang bersar pula, berarti pengukuran ini tidak memiliki validitas isi.

Validitas eksternal atau external Validity adalah validitas yang diperoleh dengan cara mengkorelasikan alat pengukur baru dengan alat yang sudah teruji validitasnya. Contohnya adalah apabila seorang peneliti yang ingin meneliti sesuatu berdasarkan alat ukur yang dibuatnya sendiri dengan tujuan yang sama, dan apabila alat ukur tersebut memiliki korelasi yang sama dengan alat ukur yang sudah teruji validitasnya, maka alat pengukur tersebut telah memiliki validates yang baik.

Validitas Prediktif adalah Alat pengukur yang digunakan untuk memprediksikan sesuatu dimasa yang akan dating. Contohnya adalah soal ujian, apabila soal ujian masuk Universitas Islam Negeri Jakarta memiliki korelasi dengan prestasi mahasiswa didalamnya maka soal tersebut memiliki validitas prediktif.

Validitas Rupa adalah sejauh mana alat pengukur mampu mengukur sesuatu disesuaikan oleh rupa atau bentuk fisik yang mampu terlihat untuk menunjukkan sebuah substansi dari pengukuran. Contohnya adalah ketika peneliti melakukan penelitian tentang mampu atau tidaknya seseorang mengendarai mobil, maka alat ukurnya adalah bagaimana cara seseorang tersebut mengendarai mobil, bukan dengan ujian tertulis, maka alat pengukur ini memiliki validitas rupa.
Menurut Syamsir Salam dan Jaenal Aripin ada lagi jenis validitas selain validitas di atas, yangitu validitas budaya atau Cross-Cultural Validity yaitu validitas yang diukur dari budaya daerah tertentu, apabila alat pengukur tersebut sesuai dengan kondisi objek penelitiannya maka alat ukur tersebut dianggap valid. Contohnya apabila Riza Abiwinata ingin meneliti sejauh mana tingkat kesopanan seorang anak apabila berbicara dengan orangtuanya menggunakan alat ukur yang digunakan di daerah medan maka berbeda, di jawa ketika seorang anak berbicara pada orangtuanya harus menunduk, namun di daerah medan harus melihat wajah orang tuanya sebagai tanda kesopanan. Kemudian bila alat ukur yang digunakan sesuai dengan kondisi budaya daerah tertentu, maka alat ukur ini dianggap valid.


• Resume didasarkan pada :
Prof. Dr. Syamsir Salam M.S & Jaenal Aripin M,Ag. “Metode Penelitian Sosial”(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN dan UIN Jakarta Press. 2006) hlm. 93-102

Sistem Pemilihan Umum

Oleh : Riza Abiwinata

Pemilihan Umum

Pemilihan Umum atau yang sering kita dengar dengan sebutan pemilu adalah partisipasi masyarakat secara langsung sebagai proses demokrasi dan pemilihan wakil rakyat yang akan memimpin mereka. Dengan adanya pemilu secara langsung berarti masyarakat ikut menentukan siapa yang berhak memimpin dan menyuarakan aspirasi mereka kepada parlemen dalam pemerintahan, atau lebih jelasnya seperti yang dikatakan oleh Ramlan Surbakti bahwa salah satu fungsi pemilihan umum adalah mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota badan perwakilan rakyat atau menjadi kepala pemerintahan .

Pemilihan Umum menjadi salah satu kunci demokratisasi dalam sebuah Negara. Masyarakat diberikan kebebasan untuk berperan serta aktif menentukan pilihan pemimpin yang layak menjadi kepala pemerintahan. Partisipasi dan kontestasi terlihat jelas dalam pemilihan umum, partisipasi dilakukan oleh masyarakat yang berperan langsung dalam proses pemilu dan kontestasi oleh dilakukan calon yang bersaing dalam kursi pemerintahan. Kontestasi dan Partisipasi inilah yang menurut Samuel P Huntington menjadi salah satu pilar kekuatan demokrasi.
Sistem Pemilihan Umum

Terdapat banyak system Pemilihan Umum yang dilakukan oleh berbagai Negara, namun secara garis besar sistem pemilu dibagi menjadi dua, yaitu sistem Distrik (Single-Member Constituency) dan Proporsional (Multy-Member Constituency).

Sistem Pemilu Distrik (Single Member Constituency) adalah sistem pemilihan umum dimana satu orang dipilih mewakili satu distrik/wilayah dengan mengambil perolehan suara mayoritas dalam wilayah tersebut. Sistem Distrik disesuaikan dengan letak geografis, karena Distrik sendiri memiliki makna bagian wilayah kecil.

Sistem pemilu distrik tidak mempermasalahkan jumlah kuota suara pemilih dalam sebuah wilayah. Bedanya dengan Proporsional, sistem proporsional membagi kuota pemilihan berdasarkan suara pemilih dan berimbang dengan kursi yang diperoleh.

Sistem Distrik hanya memberikan satu kursi di parlemen mewakili satu daerah kecil untuk satu orang calon pilihan pemenang suara mayoritas. Apabila dalam suatu wilayah Distrik terdapat tiga kontestan yang memperebutkan kursi diparlemen, maka yang berhak mendapatkannya adalah kontestan yang mendapatkan perolehan suara terbanyak, dan kedua kontestan lainya yang mendapatkan perolehan suara dibawahnya walaupun selisih hanya sedikit suara dianggap hilang serta tidak dapat sedikitpun menambah perolehan suara partai mereka dalam distrik/wilayah yang lain. Apabila dalam suatu wilayah besar semisal provinsi terdapat sepuluh distrik, berarti ada sepuluh kursi yang diperebutkan, bila dalam wilayah besar tersebut terdapat salah satu partai pemenang yang memenangkan lebih dari setengah distrik, atau enam distrik, maka secara keseluruhan wilayah besar tersebut dimenangkan oleh partai pemenang mayoritas suara, dan partai akan mengirimkan satu orang perwakilannya untuk mewakili satu provinsi ke dalam parlemen untuk menjadi gubernur provinsi.

Sistem Distrik biasanya menghasilkan partai-partai besar dengan jumlah yang sedikit, ini diakibatkan karena sekali waktu sebuah partai bisa mendapatkan posisi over-represented (selalu memiliki perolehan suara mayoritas dan memiliki kekuasaan partai di parlemen) dan yang dibawahnya selalu under-represented (menjadi partai dengan suara terkecil dan sedikit sekali mendapatkan suara atau kursi dalam parlemen). Konstituen partai kecil biasanya akan beralih pada partai besar karena posisi partai dalam parlemen, masyarakat pemilih tidak akan memilih partai yang jelas kalah, karena aspirasi mereka tidak akan sampai pada parlemen. Maka condonglah mereka pada partai yang selalu over-represented, yang sudah jelas akan menang dan menyampaikan aspirasi konstituen kepada parlemen.

V.O Key mengemukakan pendapatnya tentang pengaruh sistem distrik dalam sistem kepartaian sebagai berikut :

Dalam Sistem pemilihan Distrik hanya ada dua partai yang mampu bersaing untuk memperoleh kemenangan; partai ketiga hamper selalu ditakdirkan untuk kalah. Kecuali partai tersebut dapat menyerap anggota-anggota dari partai utama, yang demikian berarti menjadi salah satu dari partai utama itu sendiri. Partai-partai tidak mampu berkembang dalam suasana kepastian akan kekalahan. Proses yang demikian itu cenderung akan menggerakkan anggota-anggota partai minoritas untuk berpindah pada partai mayoritas. Oleh karena itu, sistem pemilu distrik cenderung akan menimbulkan sistem dwi-partai .

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa suara partai minoritas tidak akan bertahan terhadap sistem pemilu distrik, dan akan menimbulkan pe-reduksian terhadap partai-partai dan kepentingan minoritas itu sendiri. Sehingga dalam sistem ini suara terbanyaklah yang akan menjadi kebijakan yang dihasilkan oleh parlemen, sedangkan suara minoritas hanya akan menjadi tumbal dari kekuatan mayoritas. Didalam masyarakat yang Plural dengan berbagai etnis, agama, suku, ras dan adat serta budaya seperti Indonesia, sistem ini dikhawatirkan akan mencederai kekuatan demokrasi di Indonesia dikarenakan pluralitas itu sendiri.

Sistem pemilu Proporsional adalah sistem pemilihan umum dengan cara pemungutan suara berimbang, jika dalam sistem distrik disesuaikan terhadap letak geografis wilayah, maka proporsional disesuaikan dengan jumlah suara berimbang dengan perbandingan tertentu, jadi dalam sebuah wilayah bisa jadi tidak hanya ada satu kursi yang diperebutkan, karena disesuaikan jumlah pemilih didalamnya.

Sistem ini menjamin kekuatan partai minoritas, karena setiap perolehan suara partai disesuaikan pada prosentase suara. Misalnya apabila dalam sebuah wilayah besar terdapat 100.000 pemilih dan terdapat 10 kursi yang diperebutkan, kemudian dalam wilayah ini ada 4 partai yang bersaing, yaitu partai A,B,C, dan D. hasil pemungutan suara setelah dilakukan dalam pemilu menyatakan partai A memperoleh 40% suara, partai B memperoleh 20% suara, partai C memperoleh 10% suara, dan partai D memperoleh 30% suara, maka perolehan kursi yang didapatkan akan berimbang, yaitu partai A mendapat 4 kursi, Partai B mendapatkan 2 kursi, partai C mendapatkan 1 kursi dan partai D akan mendapatkan 3 kursi di dalam parlemen.

Dari permisalan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sistem pemilu proporsional memberi dampak timbulnya partai-partai baru yang mewakili suara minoritas. Dalam Negara demokrasi yang memiliki berbagai macam suku dan budaya serta agama, maka sistem ini akan menguntungkan minoritas, dan akan memperkuat pluralisme yang ada di Indonesia, karena hasil dari sistem ini adalah adanya partai partai baru yang mewakili suara minoritas. Biasanya sistem ini dipergunakan dalam Negara yang memiliki sistem multipartai.

Sistem pemilihan umum yang diterapkan di Indonesia adalah sistem Proporsional semi sistem distrik. Hal ini dapat terlihat dalam pemilihan umum Indonesia pada tahun 2004 hingga pemilu 2009. Penerapan ini dikarenakan kultur masyarakat majemuk serta pluralis dan kondisi perpolitikan Indonesia yang belum dewasa dalam menstabilisasikan perpolitikan nasional.
Pada Pemilihan Umum, Indonesia menerapkan sistem distrik untuk pemilihan anggota Legislative Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dimana dalam sistem Distrik ini tiap provinsi memiliki beberapa kursi yang diperebutkan oleh calon legislator, tidak seperti di sistem proporsional, suara yang kalah dalam pemilihan tidak dapat dialihkan ke calon legislator yang lain walaupun dari partai yang sama.

Penerapan Proporsional pada pemilihan Legislative Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilh dapat memilih wakilnya tanpa harus langsung memilih calon Legislatornya tetapi dapat memlalui partainya, dan calon yang berada di urutan teratas berpeluang besar untuk mendapatkan suara dari partai terpilih oleh pemilih.
Sistem Semi proporsional ini adalah Sistem yang mengonversi suara menjadi kursi dengan hasil yang berada di antara sistem pemilihan proporsional dengan mayoritarian dari sistem plural-majorit. Dan sistem Semi proporsional ini adalah gabungan atau kombinasi antar varian-varian Sistem Distrik dan Sistem Proporsional.
Sistem semi Proporsional juga memiliki sistem yang mengkombinasikan varian dari sistem Distrik dan Sistem Proporsional, seperti sistem Parallel (Parallel System), Limited Vote, dan Single Non-Transferable.

Sistem Parallel (Parallel System) ialah system yang menggunakan daftar-daftar calon seperti pada sistem representasi proporsional yang digabungkan dengan sistem distrik plural-majority.
Sistem Limited Vote, sistem campuran antara sistem pemilihan single non-transferable vote dengang sistem pemilihan Block Vote, karena menyertakan distrik wakil majemuk dan calon legislatif.
Sistem pemilihan single non-transferable vote. Setiap pemilih punya 1 suara, tetapi ada lebih 1 kursi yang harus diisi dalam setiap distrik. Jadi calon legislatif dan partai dengan suara terbanyaklah yang mengisi posisi legislatif.
Kedua macam sistem pemilihan umum di atas dirancang secara seksama untuk memenuhi kondisi sosio-politik suatu negara, makanya setiap sistem pemilihan umu yang dikonstruksi oleh suatu negara seharusnya berorentasi untuk mengembangkan kebermaknaan politik, bukan berorentasi pada kepentingan atas pemenuhan pertahanan status-quo. Dari kedua sistem di atas sama-sama mempunyai keuntunga dan kelemahan. pertama sistem distrik sedikitnya punya enam keuntungan.

1. Integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu.
2. Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung; malahan sistem ini bisa mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alami tanpa paksaan. Sistem ini di Inggris dan Amerika menunjang bertahannya sistem dwi partai.
3. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat.
4. Bagi partai besar sistem ini menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh kedudukan mayoritas. Dengan demikian partai pemenang sedikit banyak dapat mengendalikan parlemen.
5. Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain. Hal ini mendukung stabilitas nasional.
6. Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
Sistem distrik ini juga mempunyai kelemahan diantaranya sebagai berikut.
1. Sistem ini kurang memperhatikan kepentingan partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
2. Kurang representatif dalam arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya.
3. Kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religius dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu sacara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.
4. Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada kepentingan nasional.
Sedangkan keuntungan dari sistem proporsional sediktinya ada dua, diantaranya.
1. Representatif, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilu.
2. Demokratis, lebih egaliter karena praktis tanpa adanya distorsi yaitu kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara yang hilang atau wasted.

Kelemahan dari sistem proporsional itu sendari adalah:

1. Kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi atau bekerja sama satu sama lain dan memanfaatkan persamaan-persamaan yang ada, tetapi sebaliknya, cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan. Sistem ini umumnya dianggap berakibat menambah jumlah partai.
2. Terjadi fragmentasi partai. Jika timbul konflik dalam suatu partai, anggotanya cenderung memisahkan diri dan mendirikan partai baru, dengan perhitungan bahwa ada peluang bagi partai baru itu untuk memeroleh kursi dalam parlemen melalui pemilu. Jadi kurang menggalang kekompakan dalam tubuh partai.





Daftar Pustaka
• Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2008.
• Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia, 1992) hlm. 176
• Dr. ichlasul amal, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1988) hlm. 65
• Leo Agustino, Perihal Ilmu Pilitik, Candi Cabang Permai. Yogyakarta, 2007

Hukum Besi OLigarki

HUKUM BESI OLIGARKI
Robert Michels
Oleh : Riza Abiwinata

            Tentunya dalam pemahaman oligarki kita perlu mengetahui apa itu oligarki, secara bahasa oligarki berarti kekuasaan yang di pegang oleh segelintir orang atau  golongan. Robert Michels mempelajari bagaimana system kepartaian yang ada di jerman, dan mencoba merumuskan pemikirannya dengan sebutan “The Iron Law Of Oligarch” atau dalam bahasa Indonesia berarti Hukum Besi Oligarki. Salah satu fungsi partai yang pokok adalah sebagai tempat penampungan aspirasi masyarakat terhadap pemerintah, partai timbul karena adanya system demokrasi yang menginginkan adanya kekuatan rakyat untuk dapat menentukan kebijaksanaan negara secara langsung melalui pilihannya dalam partai politik. Rakyat adalah golongan mayoritas yang pada hakikatnya ingin diatur oleh pihak yang lain, atau dalam oligarki berarti rakyat menginginkan dipimpin oleh segelintir orang. Namun, yang perlu kita pahami adalah, apakah partai politik benar-benar menjalankan fungsinya sebagai wadah aspirasi rakyat?. Setiap partai membutuhkan bantuan financial untuk menjalankan dan terus “memberi makan” orang-orang yang ada didalamnya. Ini adalah factor penting yang membuat Hukum Besi Oligarki itu hidup.
            Hukum Besi Oligarki adalah kondisi partai dikuasai oleh golongan atau segelintir orang yang memiliki keinginan khusus untuk menguasai rakyat, golongan ini bisa terdapat dari luar partai, misalnya kaum konglomerat yang menyuguhkan investasi terhadap kader partai sebagai calon pilihan rakyat yang “katanya” demokratis itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa bantuan materiil sangat dibutuhkan kader partai untuk memenangkan partainya, agar partainya terpilih untuk menduduki kursi kuasa, kemudian dapat pujian dihati rakyat dan akhirnya menginginkan partai terus hidup dihati rakyatnya. Masalahnya adalah Hukum Besi Oligarki ini mencekik kader-kader partai yang mendapat bantuan financial untuk memenangkan suara. Tentunya ada politik ”balas budi”, dimana bantuan kaum konglomerat/ pengusaha ini bukanlah uang hadiah kepada caleg dari sebuah partai agar mendapatkan banyak suara. Namun dana yang mereka alirkan kepada para kader yang terpilih adalah Investasi, dan kader yang terpilih wajib memberikan balas budi para pelaku oligarki ini. Secara tidak langsung partai politik sudah terikat dalam permainan Hukum Besi Oligarki.
            Layaknya manusia, organisasi-pun memiliki kebutuhan, yaitu kebutuhan taktis dan teknis. Untuk memenuhi kebutuhan itu maka partai politik mau tidak mau akan menjadikan dirinya sebagai partai pengikut Hukum Besi Oligarki. Secara langsung dikatakkan dalam buku Teori-Teori Mutakhir Partai Politik oleh Dr. Ichlasul Amal bahwa “Organisasilah yang melahirkan dominasi golongan terpilih atas pemilih, pemegang mandat atas pemberi mandat, utusan atas pengutus, barang siapa berbicara tentang organisasi, ia berbicara dengan oligarki”. Pertanyaannya adalah apakah Partai Politik masih tetap konsisten terhadap tujuan mulia sebagai wadah penyampai aspirasi rakyat?. Ketika sebuat partai politik sudah terikat Hukum Besi Oligarki, maka ia bukanlah lagi patuh kepada konstituennya, melainkan patuh pada pemberi sokongan besar. Inilah pengaruh berbahaya bagi partai politik yang tidak memiliki kekuatan. Pada akhirnya partai politik hanya akan dijadikan alat kaum oligarkis partai untuk mempertahankan atau mewujudkan kepentingan mereka dan meninggalkan aspirasi rakyat dibelakangnya. Bukan murni dalam bentuk materiil kebaikan pengusaha oligarkis partai ini dibalas. Melainkan dari keputusan yang setiap kader partai terpilih dalam parlemen untuk mampu mempertahankan golongan penyokong partainya dan melupakan hakikatnya sebagai Partai Politik harapan rakyat, Partai Politik pembela rakyat, dan yang ada hanyalah partai politik yang menafikkan adanya system demokrasi, serta menjadi partai politik yang melayani pemegang kedaulatan partai, bukan menjadi pelayan rakyat.







Sumber Bacaan :

            Amal, Ichlasul . “Teori-Teori Mutakhir Partai PolitikYogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. 1996

            Artikel Burhanudin Murtadi (Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia) mengenai Hukum Besi Oligarki