Subscribe:

Senin, 02 Mei 2011

Sistem Pemilihan Umum

Oleh : Riza Abiwinata

Pemilihan Umum

Pemilihan Umum atau yang sering kita dengar dengan sebutan pemilu adalah partisipasi masyarakat secara langsung sebagai proses demokrasi dan pemilihan wakil rakyat yang akan memimpin mereka. Dengan adanya pemilu secara langsung berarti masyarakat ikut menentukan siapa yang berhak memimpin dan menyuarakan aspirasi mereka kepada parlemen dalam pemerintahan, atau lebih jelasnya seperti yang dikatakan oleh Ramlan Surbakti bahwa salah satu fungsi pemilihan umum adalah mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota badan perwakilan rakyat atau menjadi kepala pemerintahan .

Pemilihan Umum menjadi salah satu kunci demokratisasi dalam sebuah Negara. Masyarakat diberikan kebebasan untuk berperan serta aktif menentukan pilihan pemimpin yang layak menjadi kepala pemerintahan. Partisipasi dan kontestasi terlihat jelas dalam pemilihan umum, partisipasi dilakukan oleh masyarakat yang berperan langsung dalam proses pemilu dan kontestasi oleh dilakukan calon yang bersaing dalam kursi pemerintahan. Kontestasi dan Partisipasi inilah yang menurut Samuel P Huntington menjadi salah satu pilar kekuatan demokrasi.
Sistem Pemilihan Umum

Terdapat banyak system Pemilihan Umum yang dilakukan oleh berbagai Negara, namun secara garis besar sistem pemilu dibagi menjadi dua, yaitu sistem Distrik (Single-Member Constituency) dan Proporsional (Multy-Member Constituency).

Sistem Pemilu Distrik (Single Member Constituency) adalah sistem pemilihan umum dimana satu orang dipilih mewakili satu distrik/wilayah dengan mengambil perolehan suara mayoritas dalam wilayah tersebut. Sistem Distrik disesuaikan dengan letak geografis, karena Distrik sendiri memiliki makna bagian wilayah kecil.

Sistem pemilu distrik tidak mempermasalahkan jumlah kuota suara pemilih dalam sebuah wilayah. Bedanya dengan Proporsional, sistem proporsional membagi kuota pemilihan berdasarkan suara pemilih dan berimbang dengan kursi yang diperoleh.

Sistem Distrik hanya memberikan satu kursi di parlemen mewakili satu daerah kecil untuk satu orang calon pilihan pemenang suara mayoritas. Apabila dalam suatu wilayah Distrik terdapat tiga kontestan yang memperebutkan kursi diparlemen, maka yang berhak mendapatkannya adalah kontestan yang mendapatkan perolehan suara terbanyak, dan kedua kontestan lainya yang mendapatkan perolehan suara dibawahnya walaupun selisih hanya sedikit suara dianggap hilang serta tidak dapat sedikitpun menambah perolehan suara partai mereka dalam distrik/wilayah yang lain. Apabila dalam suatu wilayah besar semisal provinsi terdapat sepuluh distrik, berarti ada sepuluh kursi yang diperebutkan, bila dalam wilayah besar tersebut terdapat salah satu partai pemenang yang memenangkan lebih dari setengah distrik, atau enam distrik, maka secara keseluruhan wilayah besar tersebut dimenangkan oleh partai pemenang mayoritas suara, dan partai akan mengirimkan satu orang perwakilannya untuk mewakili satu provinsi ke dalam parlemen untuk menjadi gubernur provinsi.

Sistem Distrik biasanya menghasilkan partai-partai besar dengan jumlah yang sedikit, ini diakibatkan karena sekali waktu sebuah partai bisa mendapatkan posisi over-represented (selalu memiliki perolehan suara mayoritas dan memiliki kekuasaan partai di parlemen) dan yang dibawahnya selalu under-represented (menjadi partai dengan suara terkecil dan sedikit sekali mendapatkan suara atau kursi dalam parlemen). Konstituen partai kecil biasanya akan beralih pada partai besar karena posisi partai dalam parlemen, masyarakat pemilih tidak akan memilih partai yang jelas kalah, karena aspirasi mereka tidak akan sampai pada parlemen. Maka condonglah mereka pada partai yang selalu over-represented, yang sudah jelas akan menang dan menyampaikan aspirasi konstituen kepada parlemen.

V.O Key mengemukakan pendapatnya tentang pengaruh sistem distrik dalam sistem kepartaian sebagai berikut :

Dalam Sistem pemilihan Distrik hanya ada dua partai yang mampu bersaing untuk memperoleh kemenangan; partai ketiga hamper selalu ditakdirkan untuk kalah. Kecuali partai tersebut dapat menyerap anggota-anggota dari partai utama, yang demikian berarti menjadi salah satu dari partai utama itu sendiri. Partai-partai tidak mampu berkembang dalam suasana kepastian akan kekalahan. Proses yang demikian itu cenderung akan menggerakkan anggota-anggota partai minoritas untuk berpindah pada partai mayoritas. Oleh karena itu, sistem pemilu distrik cenderung akan menimbulkan sistem dwi-partai .

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa suara partai minoritas tidak akan bertahan terhadap sistem pemilu distrik, dan akan menimbulkan pe-reduksian terhadap partai-partai dan kepentingan minoritas itu sendiri. Sehingga dalam sistem ini suara terbanyaklah yang akan menjadi kebijakan yang dihasilkan oleh parlemen, sedangkan suara minoritas hanya akan menjadi tumbal dari kekuatan mayoritas. Didalam masyarakat yang Plural dengan berbagai etnis, agama, suku, ras dan adat serta budaya seperti Indonesia, sistem ini dikhawatirkan akan mencederai kekuatan demokrasi di Indonesia dikarenakan pluralitas itu sendiri.

Sistem pemilu Proporsional adalah sistem pemilihan umum dengan cara pemungutan suara berimbang, jika dalam sistem distrik disesuaikan terhadap letak geografis wilayah, maka proporsional disesuaikan dengan jumlah suara berimbang dengan perbandingan tertentu, jadi dalam sebuah wilayah bisa jadi tidak hanya ada satu kursi yang diperebutkan, karena disesuaikan jumlah pemilih didalamnya.

Sistem ini menjamin kekuatan partai minoritas, karena setiap perolehan suara partai disesuaikan pada prosentase suara. Misalnya apabila dalam sebuah wilayah besar terdapat 100.000 pemilih dan terdapat 10 kursi yang diperebutkan, kemudian dalam wilayah ini ada 4 partai yang bersaing, yaitu partai A,B,C, dan D. hasil pemungutan suara setelah dilakukan dalam pemilu menyatakan partai A memperoleh 40% suara, partai B memperoleh 20% suara, partai C memperoleh 10% suara, dan partai D memperoleh 30% suara, maka perolehan kursi yang didapatkan akan berimbang, yaitu partai A mendapat 4 kursi, Partai B mendapatkan 2 kursi, partai C mendapatkan 1 kursi dan partai D akan mendapatkan 3 kursi di dalam parlemen.

Dari permisalan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sistem pemilu proporsional memberi dampak timbulnya partai-partai baru yang mewakili suara minoritas. Dalam Negara demokrasi yang memiliki berbagai macam suku dan budaya serta agama, maka sistem ini akan menguntungkan minoritas, dan akan memperkuat pluralisme yang ada di Indonesia, karena hasil dari sistem ini adalah adanya partai partai baru yang mewakili suara minoritas. Biasanya sistem ini dipergunakan dalam Negara yang memiliki sistem multipartai.

Sistem pemilihan umum yang diterapkan di Indonesia adalah sistem Proporsional semi sistem distrik. Hal ini dapat terlihat dalam pemilihan umum Indonesia pada tahun 2004 hingga pemilu 2009. Penerapan ini dikarenakan kultur masyarakat majemuk serta pluralis dan kondisi perpolitikan Indonesia yang belum dewasa dalam menstabilisasikan perpolitikan nasional.
Pada Pemilihan Umum, Indonesia menerapkan sistem distrik untuk pemilihan anggota Legislative Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dimana dalam sistem Distrik ini tiap provinsi memiliki beberapa kursi yang diperebutkan oleh calon legislator, tidak seperti di sistem proporsional, suara yang kalah dalam pemilihan tidak dapat dialihkan ke calon legislator yang lain walaupun dari partai yang sama.

Penerapan Proporsional pada pemilihan Legislative Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilh dapat memilih wakilnya tanpa harus langsung memilih calon Legislatornya tetapi dapat memlalui partainya, dan calon yang berada di urutan teratas berpeluang besar untuk mendapatkan suara dari partai terpilih oleh pemilih.
Sistem Semi proporsional ini adalah Sistem yang mengonversi suara menjadi kursi dengan hasil yang berada di antara sistem pemilihan proporsional dengan mayoritarian dari sistem plural-majorit. Dan sistem Semi proporsional ini adalah gabungan atau kombinasi antar varian-varian Sistem Distrik dan Sistem Proporsional.
Sistem semi Proporsional juga memiliki sistem yang mengkombinasikan varian dari sistem Distrik dan Sistem Proporsional, seperti sistem Parallel (Parallel System), Limited Vote, dan Single Non-Transferable.

Sistem Parallel (Parallel System) ialah system yang menggunakan daftar-daftar calon seperti pada sistem representasi proporsional yang digabungkan dengan sistem distrik plural-majority.
Sistem Limited Vote, sistem campuran antara sistem pemilihan single non-transferable vote dengang sistem pemilihan Block Vote, karena menyertakan distrik wakil majemuk dan calon legislatif.
Sistem pemilihan single non-transferable vote. Setiap pemilih punya 1 suara, tetapi ada lebih 1 kursi yang harus diisi dalam setiap distrik. Jadi calon legislatif dan partai dengan suara terbanyaklah yang mengisi posisi legislatif.
Kedua macam sistem pemilihan umum di atas dirancang secara seksama untuk memenuhi kondisi sosio-politik suatu negara, makanya setiap sistem pemilihan umu yang dikonstruksi oleh suatu negara seharusnya berorentasi untuk mengembangkan kebermaknaan politik, bukan berorentasi pada kepentingan atas pemenuhan pertahanan status-quo. Dari kedua sistem di atas sama-sama mempunyai keuntunga dan kelemahan. pertama sistem distrik sedikitnya punya enam keuntungan.

1. Integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu.
2. Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung; malahan sistem ini bisa mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alami tanpa paksaan. Sistem ini di Inggris dan Amerika menunjang bertahannya sistem dwi partai.
3. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat.
4. Bagi partai besar sistem ini menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh kedudukan mayoritas. Dengan demikian partai pemenang sedikit banyak dapat mengendalikan parlemen.
5. Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain. Hal ini mendukung stabilitas nasional.
6. Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
Sistem distrik ini juga mempunyai kelemahan diantaranya sebagai berikut.
1. Sistem ini kurang memperhatikan kepentingan partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
2. Kurang representatif dalam arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya.
3. Kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religius dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu sacara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.
4. Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada kepentingan nasional.
Sedangkan keuntungan dari sistem proporsional sediktinya ada dua, diantaranya.
1. Representatif, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilu.
2. Demokratis, lebih egaliter karena praktis tanpa adanya distorsi yaitu kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara yang hilang atau wasted.

Kelemahan dari sistem proporsional itu sendari adalah:

1. Kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi atau bekerja sama satu sama lain dan memanfaatkan persamaan-persamaan yang ada, tetapi sebaliknya, cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan. Sistem ini umumnya dianggap berakibat menambah jumlah partai.
2. Terjadi fragmentasi partai. Jika timbul konflik dalam suatu partai, anggotanya cenderung memisahkan diri dan mendirikan partai baru, dengan perhitungan bahwa ada peluang bagi partai baru itu untuk memeroleh kursi dalam parlemen melalui pemilu. Jadi kurang menggalang kekompakan dalam tubuh partai.





Daftar Pustaka
• Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2008.
• Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia, 1992) hlm. 176
• Dr. ichlasul amal, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1988) hlm. 65
• Leo Agustino, Perihal Ilmu Pilitik, Candi Cabang Permai. Yogyakarta, 2007

0 komentar:

Posting Komentar